Selasa, 15 Februari 2011

Kawasaki KLX 150 S vs Kawasaki D-Tracker 150

Perbedaan utamanya ada pada jenis dan ukuran ban. Semua pasti setuju dengan itu. tetapi selain itu ada beberapa item lain yang berbeda di antara sepeda motor yang nyaris kembar ini.

Pada awal kemunculannya, Kawasaki KLX 150 S langsung menyedot perhatian khalayak roda dua. sudah bertahun-tahun sejak terakhir kalinya secara resmi Suzuki TS 125 stop produksi praktis tak ada lagi produsen motor di Indonesia yang menjual motor jangkung. Kawasaki KLX 150 S saat itu bersanding dengan 'kakaknya' Kawasaki KLX 250 S yang lebih dulu diperkenalkan. Tetapi karena harga jual yang sangat tinggi untuk ukuran kebanyakan masyarakat Indonesia, kemunculan Kawasaki KLX 150 S di samping KLX 250 seperti sebuah berkah untuk pencinta motor trail. Dengan harga di kisaran 22 jutaan dan ukuran yang akrab dengan tinggi badan rata-rata orang Indonesia sudah sangat cocok dan diprediksi akan laris manis.


Kawasaki KLX 150 S memenuhi kebutuhan dengan kendaraan dual purpose. Cocok dengan jalan di Indonesia yang jauh dari mulus
Kawasaki KLX 150 S memakai ban 19" untuk depan dan 16" untuk belakang dengan profil semi 'ban pacul'. Ini  dimaksudkan agar konsumen tidak akan kesulitan memakainya di aspal. Sedangkan D-Tracker yang dijual sekitar 24 jutaan memilih ban dengan profil jalan raya ukuran 14" depan-belakang. Menurut beberapa orang, inilah yang menjadikan D-Tracker justru mirip mainan anak-anak karena tampak sangat kecil. Mungkin akan lebih 'serius' jika dipilih ring 16". Pihak KMI berpendapat, ring 14" lah yang paling cocok untuk jalanan di Indonesia. Dalam beberapa pengetesan oleh Tabloid Otomotif dan Tabloid Motor Plus memang diakui pemilihan ukuran ban ini sudah cocok baik dalam segi keselamatan maupun performa.
D-Tracker versi Amerika dan Eropa berkapasitas 125 cc

Perbedaan lain yang paling mencolok adalah jika KLX 150 S memakai shockbreker depan model konvensional, D-Tracker sudah memakai jenis upside down. Jenis seperti ini tentu selain mendongkrak tampilan juga kekuatan kaki-kaki. Jika KLX ingin mengadopsi shock yang tak ada label merk ini katanya harus merogoh kocek hingga 5 jutaan. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan jalan raya yang harus lincah selap-selip KMI membuat rake D-Tracker agak lebih tegak.

Mengimbangi kaki 14" D-Tracker menerapkan perbandingan sprocket 14/41, kendati bermesin sama KLX, supermoto mini ini mampu melesat cepat berakselerasi dan bernafas cukup panjang untuk putaran menengah dan atas. Mungkin itulah alasan mengapa dipilih ring 14". KLX 150 sendiri memakai 14/44 untuk sprocketnya, ganas di putaran bawah. Perbedaan lain hanya minor seperti spatbor depan dan kaca spion D-Tracker 150 yang mirip versi 250 cc. Yang cukup disayangkan, KMI tidak menyediakan pilihan warna hijau khas Kawasaki untuk supermotonya ini. Bagi beberapa konsumen yang fanatik tentu saja hal ini cukup mengganggu. Untuk fitur lainnya seperti speedometer mereka sama, masih tetap tanpa fuel meter. Awas ndorong.

Di luar negeri sana motor seperti ini juga beredar, namun untuk dual purpose berkapasitas 140 cc dan untuk D-Tracker mengadopsi dapur pacu 125 cc. Biasa dipakai untuk remaja yang baru saja mendapatkan SIM dan membutuhkan motor berkapasitas kecil.

Senin, 14 Februari 2011

Sepeda, Hikayat Roda Dua

Maraknya Car Free Day atau hari bebas kendaraan bermotor (bukan hari beli mobil gratisan) di kota-kota di Indonesia mendongkrak keras penjualan sepeda. Hampir tiap sore dan akhir pekan apalagi pada minggu pagi dan hari libur, pasti banyak orang yang tiba-tiba peduli lingkungan dengan bersepeda. Bagi orang yang berpikir negatif mungkin akan berkata, "ah, paling-paling bentar lagi juga udah ganti tren...".

Tren, inilah kata yang kadang dipakai oleh penjual (baca: produsen) sepeda untuk meraup pembeli. Kalau tidak salah dulu jaman bapak saya muda, sepeda yang paling ngetren adalah sepeda BMX. Kata tetangga, pakdhe dan orang tua lainnya BMX adalah sandalnya anak muda, kemanapun BMX selalu mengiringi. Tren ini bertahan cukup lama hingga pada 90-an muncul sepeda yang kalau masyarakat sekitar rumah saya menyebutnya dengan "pit federal". Istilah ini muncul karena waktu itu yang paling banyak dibeli orang adalah sepeda jenis MTB (sepeda gunung) dengan merk Federal. Rata-rata dengan ring 26" dan mampu menggeser kepopuleran BMX denga 20" dan 24" -nya.

Sepeda BMX sempat digandrungi anak muda tahun 70 dan 80-an
Tetapi tren tetaplah tren, yang pasti masyarakat tetap menyukai sepeda apapun tren yang berkembang sesuai jamannya. seperti sepeda "jengki" atau "onta" yang selalu hidup kapanpun sebuah tren melanda pecinta sepeda. Bukan melulu gagap akan kebersihan lingkungan maka kita gembar-gembor untuk bersepeda. Tetapi bersepeda adalah sebuah kebutuhan, kebutuhan untuk sehat, kebutuhan untuk bersosialisasi, kebutuhan untuk bergaya, kebutuhan untuk beratraksi, serta sebuah bentuk kecintaan akan sebuah kendaraan.

Pada kenyataannya setiap jenis sepeda saat ini tidak terpaku pada jenis dan tren yang berkembang. Setiap jenis sepeda memiliki penggemarnya masing-masing, dibuktikan dengan banyaknya kelompok-kelompok dengan sepeda tertentu yang selalu menghidupkan konsistensi berkendara, meski terkotak-kotak atas nama kebutuhan. 

Salah satu sepeda gunung terbaru dari produsen Scott.
Sepeda seperti ini menjadi raja pada 90-an hingga kini masih banyak pencintanya.
Ya, kebutuhan adalah segalanya. Seperti yang pernah saya alami ketika ditanya seorang calon pembeli sepeda di sebuah distributor sepeda Polygon di kawasan Pasar Jepara II. Bapak paruh baya itu bertanya pada saya, "Mas, bagusan mana yang ini (Polygon Xtrada 4.0 2011) ataukah yang ini saja (Axion 1.0)?". Saya balik bertanya padanya mana yang lebih bapak inginkan? Dia bilang yang Axion hanya karena ada shock belakangnya. Ahhhh, tapi segera saja kutanya, bapak rutenya kemana aja? Kalau lebih banyak di aspal dan sesekali turun ke tanah ya mending yang Xtrada, kalo yang ada per belakangnya lebih capek.


Senin, 07 Februari 2011

Pilih Knalpot untuk Kawasaki Ninja 250R - Impor

Knalpot untuk Kawasaki Ninja 250R sudah sangat beragam, dari yang lokal hingga yang impor. Untuk knalpot lokal tulisan terdahulu sudah penulis wakilkan pada merk R9 dan CLD. Pada dasarnya knalpot untuk kebutuhan pemakai Baby Ninja biasanya jika tidak untuk fashion semata juga ada yang memang mengejar performa power dan kecepatan.

Terdapat dua jenis yang beredar. Salah satunya adalah produk variasi yang hanya menyertakan silincernya saja, atau biasa disebut slip on. Pemakai tinggal lepas silincer orisinal dan ganti dengan yang variasi. Kenaikan tenaganya tentu tidak terlalu besar, mungkin hanya sekitar 1,5 dk. Biasanya terdapat banyak pilihan suara, karena kebanyakan konsumen memang hanya bertujuan untuk fashion semata. 

Sedikit berbeda dengan knalpot variasi yang full system, terdiri dari silencer dan header. Kenaikan tenaganya bisa mencapai 4-5 dk. Produk Two Brothers misalnya, header sendiri bisa menyumbang tenaga sebesar 2,5 dk.

Bicara soal merk, buatan Jepang tersedia merk Moriwaki, Yoshimura, K. Factory Diablo, dan Naser Beet Evo. Mereka menyediakan baik versi slip on dan full system dan bermain di kisaran harga 6 hingga 12 jutaan. Slovenia juga menyumbang merk. Merk ini cukup terkenal, Akrapovic yang berlambang seperti kalajengking. Dia hanya menjual versi slip on. Untuk tipe carbon mereka jual seharga 6 jutaan sedangkan untuk yang berbahan titanium dibanderol 5,5 jutaan.

Negerinya Napoleon, Perancis juga punya merk untuk knalpot variasi Ninja kecil, namanya serem, Devil. tipe carbon full system dijual seharga 7 jutaan rupiah. Buatan Eropa lainnya ada Remus dan Leo Vince SBK. Seperti merk eropa lainnya Remus menyediakan versi slip on di rentang harga 5,3 - 5,7 jutaan. Merk Leo punya tipe full system dijual Rp. 6,5-7 jutaan. (sumber: Motor Plus 623/XI)

Semua tergantung kebutuhan, jika hanya mengejar fashion lebih baik memakai yang punya karakter suara yang lebih lembut agar bisa lebih damai didengar di jalanan. Namun seiring maraknya OMR Ninja 250R patut memilih yang bisa menghasilkan power lebih. Akan memalukan jika tampilan racing habis tetapi tenaga loyo.

Minggu, 06 Februari 2011

Pilih Knalpot untuk Kawasaki Ninja 250R - CLD

Pada tulisan sebelumnya penulis membeberkan sedikit informasi mengenai knalpot aftermarket untuk Kawasaki Ninja 250R merk R9 (Racing Generation) yang dijuragani oleh Sjafrie Ganie alias Jerry. Selain itu ada juga merk CLD (Champion Leader Development) yang dipimpin oleh Dodo Julianto.

CLD juga menawarkan banyak tipe untuk line-up knalpot Ninja 250R. "Setidaknya ada 7 pilihan model, baik itu menurut bahan silincernya atau ukurannya." jelas Dodo seperti yang ditulis oleh tabloid Motor Plus edisi minggu pertama Februari 2011.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan knalpot CLD masih impor tetapi proses pembuatannya di Tanah Air. Dari segi performa, sudah banyak tim balap yang menggunakan produknya, terutama tipe Monster Carbon. Menurut Dodo peningkatan powernya bisa mencapai 5 dk. Masih menurut Dodo, dengan tidak sedikitnya tim balap yang memakai produknya, membuktikan produk lokal bisa bersaing dengan serbuan knalpot buatan luar negeri. Bravo industri nasional!!!

Pilih Knalpot untuk Kawasaki Ninja 250R - R9

Salah satu cara untuk mendongkrak tenaga Kawasaki Ninja 250R adalah dengan mengganti knalpot standarnya dengan produk aftermarket atau biasa disebut knalpot racing. Untuk Ninja jenis ini memang sedang booming dan terdapat banyak sekali pilihan di pasaran. Motor Plus sebagai salah satu tabloid sepeda motor terbesar di tanah air juga berpendapat sama, seperti yang ditulis pada edisi 623/XI Februari 2011 halaman 11.

Knalpot Ninja variasi selain berfungsi mempercantik tongkrongan juga dapat meningkatkan performa. Salah satu merk yang terkenal, R9 memiliki banyak tipe, mulai dari yang berharga Rp 2,2 - 5,5 juta. Menurut sumber Motor Plus, Jerry (panggilan akrab Sjafrie Ganie, juragan R9), "Power yang dihasilkan mencapai 1,6-3,8 dk,".

Jerry yang sebentar lagi meluncurkan knalpot full titanium mengatakan saat ini beredar 6 pilihan knalpot yang terbuat dari bahan stainless steel. "Tipe Mugello Rp. 2,4 juta, New Mugello Rp. 4,2 juta, Blue Monza Rp.3,2 juta, Mugello NG Rp 3,2 juta, Motegi Rp 2,6 juta dan New Monza Rp 4,6 juta." jelas Jerry yang produknya sudah mulai laris manis ini.